“Perkenalkan, nama saya Siron”, diem sesaat, “Siron???”, “HWAHWA!!!!”
Seisi kelas membahana, membaur menjadi satu. Mengelu-elukan namaku ini, sepertinya aku adalah artis abad ini. Siron The Superstar!!! Sialan!!! “Iyah, namaku Siron.” Aku senyum kecut, menandakan muka udah berlipat-lipat, pingin ngaplokin satu-satu orang yang ketawa ini tapi jumlahnya binal, sekitar tigapuluhan. Bisa pegal dan remuk nih tangan, nyerah deh.
Seting cerita ini adalah setahun setelah perkenalan pertama itu, ketika aku duduk di kelas 2 SMP. Dapat teman baru lagi, dan dapat petualangan cinta pertamaku. Dia duduk persis di depanku, Memakai kuncir lucu ala anak cewek SMP. “Namaku Siron.” kataku geli, inget banget waktu itu aku kelas 2 SMP. Melihat orang yang cantik dikit ajah, mata udah kelayapan dan bibir nggak bisa dihentikan berbicara. Masa dimana anak-anak masih berusaha menemukan jati diri.
“Cha-Cha.” hening. Terus dia melanjutkan,”Namamu kok lucu seh.” Senyum gag jelas, mau ngakak diempet, muka memerah, mata berbinar-binar, tangan bergetar nggak karuan, denyut jantung berdetak jutaan kali permenit ( 3 kalimat dipisah penghubung koma di samping adalah kebohongan tingkat tinggi!).
“Aku dah tau kok sebetulnya dengan namamu, kamu kan ketua kelas, kelas 1D dulu kan??” Katanya lagi. Busyet, aku mau melayang, badanku udah berkurang puluhan kilo, ternyata jabatan tidak penting sangat banget sekali itu berarti juga. Minimal dia tau namaku lah, senang sekali!! Nggak kerasa, dia selalu mengambil tempat duduk di depanku, atau aku nggak sengaja duduk di belakangnya (pemutar-balikan fakta.red).
Sampai suatu hari, jam di dinding terlihat jam 7 pagi, Hampir semua anak sudah masuk kelas. Aku selalu terdepan dalam datang (rajin emang aku itu dulu!!), membawa buku kosong, langsung mengerjakan PR dengan manisnya di kelas. Oh ya, nggak lupa meminjam buku orang lain buat dijiplak. Aku masih menunggu temenku Roni gag dateng-dateng, (temen sebangkuku). Ah, aku cuek ajah…
Janggal waktu itu, kayaknya ada satu meja dan dua kursi menghilang dari peradaban. Ada anak tergopoh-gopoh dari luar kelas, memakai kuncir dua. Dia Cha-Cha! mencari bangku yang kosong, dia melempar pandang ke aku. Hwa.. apakah ini harus terjadi secepat ini… apakah… apakah… OMG (Oh Mau Gwa!!), dia duduk di sampingku!!!! “Ihhhhiiiiiiiirrrrrrrrrrrrr.” Suara-suara serapah, gag bermoral, biadab banget menggaung di kelas, teman-teman ketawa. “Kepet!!!” teriakku di dalam hati. Bodohnya aku, gara-gara malu, aku gag mengucapkan kata sedikitpun. OMG (Oh Mati Gwa), dia juga kelihatan diem gitu. Mati-Mati! kita yang awalnya sering bercanda setiap saat di kelas, dan ketika posisi berubah sedikit ajah kayak gini, dia yang biasanya di depanku, tetapi sekarang disampingku. sikapnya berubah 180 derajat, diem ala Patung Liberty.
Sejak saat itu aku merasakan getaran berbeda ketika melihatnya, dia adalah manusia yang paling indah buatku, memandangnya tiap waktu terasa mengasyik-kan, dan ketika dia jauh, aku merasakan kekurangan, merasakan sesuatu yang seharusnya orang dewasa paham akan hal ini, ya, aku ternyata jatuh cinta kepadanya. Aku, seorang tolol tapi pemberani. Sadar akan ketidaktampananku, tapi aku nekat untuk menembaknya. Sehingga di saat siang yang cerah, tepat ketika kita pulang sekolah. Aku menghampirinya, membawakan setangkai bunga kusut yang kubeli di toko sebelah.
“Cha, sebetulnya aku sayang kamu. Mau gag kamu menerimaku jadi pacarmu?” Bluar.. Glodak-glodak. Jedhar!! ledakan bom teroris berseliweran di dalam pikiranku. Aku berkata dengan terbata-bata, tapi pasti. Inilah muara perasaanku yang kupendam selama ini. Dan aku sangat menantikan jawaban, langsung dari bibirnya yang manis itu. Aku hanya menantikan kata, iya.
“Maaf Ron, aku udah punya pacar.” Dia berlari keluar kelas, menangis tersedu-sedu. Aku jelas mengingatnya, dia mengusap air mata beningnya di depanku. Tetapi kenapa dia berlari, kenapa dia menangis? Bahkan aku hanya bisa berdiri tak mengerti. Hatiku remuk, bunga mawar telah hancur di genggamanku, sama seperti diriku ini, hancur. Dan mulai saat itu, aku berjanji untuk tidak mencintainya lagi, membisu kepadanya dan membenci dirinya. Emosiku labil, dan dia menghancurkan harapanku. Aku menangis dalam hati, tersedu-sedu menahan amarah.
Sejak saat itu, dan seterusnya kami hanya diam membisu. Sampai luluspun, kita tak pernah bertegur sapa, meskipun hatiku benar-benar sakit, tapi aku yakin inilah yang terbaik. Kita mengambil jalan yang berbeda, aku melanjutkan sekolah SMA di ibukota, dan dia melanjutkan sekolahnya di kota.
Lima tahun telah berlalu, aku telah menjadi mahasiswa, dan mempunyai banyak kisah cinta yang lain. Nggak sengaja aku jalan-jalan di kota asal waktu liburan, dan secara nggak sengaja lagi, ketemu Cha-Cha (Dunia ini sempit!!!). Wow, dia terlihat semakin manis, lebih dewasa dan tersenyum kepadaku.
“Siron yah??” katanya.“Cha-Cha yah?? Wah gimana kabarnya???” Hatiku senang sekali, tak pernah hatiku sesenang ini.Setelah perkenalan singkat itu, kita jadi sering ketemu dan berbincang-bincang. Dia jadi sering curhat masalah kehidupannya kepadaku, dan aku juga sebaliknya. Rasa cinta itu tumbuh kembali, tanpa bisa aku membendungnya. Aku tahu, dia juga cinta padaku, bahkan waktu aku menembaknya dulu, aku yakin dia sebetulnya sayang sama aku, tapi ada sesuatu yang dia sembunyikan kepadaku.
Sampai akhirnya ketika aku mau balik ke Jakarta, melanjutkan studiku. Aku pamit, dan secara histeris dia meneteskan air matanya di depanku untuk kedua kalinya, air mata yang gag pernah kulihat 5 tahun terakhir ini.
“Aku mau menikah Ron, aku udah dijodohkan sama orangtuaku.” Bom teroris itu meledak kembali, lebih besar dan menghancurkan emosi ini. Aku lemas, tapi aku gag bisa berbuat apa-apa.
“Aku sayang sama kamu Ron, kalau bisa memilih aku akan memilih kamu, bukan dia. Tapi aku nggak bisa memilih. Aku harus mengatakannya kepadamu, aku telah dijodohkan sejak kecil, dan bulan depan aku menikah. Aku berharap kamu datang yah.” Dia menangis tersedu-sedu, memelukku dan mencairkan emosiku. Kupejamkan mata, ternyata ini yang membuatnya menangis, ini juga yang membuatnya menangis lima tahun lalu..